Pages

Monday, January 28, 2013

Kitab-kitab Zawaid


Kitab zawaid adalah kitab atau karya tulis yang dimaksudkan untuk mengumpulkan tambahan dari kitab-kitab tertentu seperti kitab musnad dan mu’jam ke dalam kitab-kitab rujukkan hadits seperti al-Kutub as-Sittah, Musnad Ahmad, Shahih Ibnu Hibban, dan lain-lainnya.
Urgensi kitab Zawaid dan manfaatnya
1.                        Sesungguhnya kitab-kitab ini menjadi ensiklopedia hadits, jika sebagian digabungkan dengan yang lainnya.
2.                        Sesungguhnya kitab zawaid ini bisa digunakan untuk mengetahui mutaba’ah dan syawahid dan mengetahui jalan periwayatan sebagian hadis, yang mana jika bukan karena kitab zawaid, niscaya kita tidak akan mengenal hadis-hadis tersebut, baik karena hilangnya kitab asal ataupun karena kesulitan dalam memperolehnya.
Pencetus Ide Kitab Zawaid
Al-Hafizh Zainuddin Abdurrahman bin al-Husain al-Iraqi (W. 806 H) dianggap sebagai penemu pertamakali ide kitab zawaid, meskipun sejauh pengetahuan yang ada, dia belum menulis satu pun kitab tentang hal itu, akan tetapi dia mengarahkan hal itu kepada tiga orang muridnya yang mana dari mereka itulah madrasah hadis terbentuk di akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9 Hijriyyah. Mereka adalah:
1.                  Al-Hafizh Abu Bakar Nuruddin al-Haitsami (807 H)
2.                  Al-Hafizh Syihabuddin Abu al-Abbas al-Bushiri (840 H)
3.                  Al-Hafizh Abu al-Fadhl Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani (852 H)

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kajian hadis telah mengalami perkembangan sepanjang sejarah dan melewati beberapa fase yang berbeda-beda yang di mulai sejak Rasulullah Saw. masih hidup sampai zaman kita sekarang. Muhammad Abu Zahwu telah membagi fase perkembangan Hadis tersebut secara global menjadi tujuh periode:
1.      Perkembangan Hadis pada masa Rasulullah SAW,
2.      Perkembangan Hadis pada masa khilafah al-Rasyidah,
3.      Perkembangan Hadis pasca khilafah al-Rasyidah sampai penghujung abad pertama hijriyah,
4.      Perkembangan Hadis pada abad kedua hijriyah,
5.      Perkembangan Hadis pada abad ketiga hijriyah,
6.      Perkembangan Hadis sejak abad keempat sampai tahun 656 Hijriyah,
7.      Perkembangan Hadis sejak tahun 656 Hijriyah sampai masa sekarang.
Dari klarifikasi fase di atas, kitab Zawaid termasuk ke dalam fase ketujuh dan ia termasuk salah satu kitab Hadis yang paling penting setelah kitab-kitab hadis lainnya yang populer di kalangan para pelajar. Hal ini disebabkan karena kitab ini mencakup hadis-hadis yang tidak diriwayatkan oleh para pengarang kitab hadis populer yang lain. Salah satu contoh kitab zawaid adalah kitab yang akan kita kaji berikut ini.
Biografi al-Haitsami
Nama lengkap al-Haitsami adalah Ali bin Abu Bakar bin Sulaiman bin Abu Bakar bin ‘Amar bin Shalih. Laqabnya (julukan) adalah Abu al-Hasan, kuniyahnya adalah Nuruddin dan ia lebih dikenal dengan panggilan al-Haistami. Ia lahir di Mesir pada bulan Rajab tahun 735 H dan meninggal di Mesir pula pada bulan Ramadhan tahun 807 H. Orang tuanya adalah pedagang di gurun pasir dan ia menyerahkan putranya al-Haitsami untuk dididik kepada orang yang mengajarinya membaca al-Quran yaitu Zainudin al-‘Iraqi. Bersama gururnya al-‘Iraqi, Abu Bakar al-Haitsami berangkat ke Mekah, Madinah, Damaskus dan daerah lainnya untuk menuntut ilmu khususnya ilmu Hadis. Pada akhirnya Abu Bakar al-Haitsami menjadi orang alim, hafidz dan zuhud.
Karena itu, Al-‘Iraqi sangat menyayangi dan percaya kepada keilmuan al-Haitsami, sehingga ia terkadang menyuruh Abu Bakar al-Haitsami untuk menggantikannya dalam mengurus beberapa urusannya, yang pada akhirnya ia menikahkan al-Haitsami dengan putrinya yang bernama Khadijah. Termasuk karya-karya al-Haitsami adalah:
- Majma al-Zawaid Wa Mamba’ al-Fawaid Fi al-Zawaid ‘Ala al-Kutub al-Sittah
- Mawarid al-Dham’an Fi Zawaid Shahih Ibn Hiban
- Zawaid Sunan al-Daruquthni
- Zawaid Ibn Majah ‘Ala al-Kutub al-Khamsah
- Ghayah al-Maqsad Fi Zawaid Ahmad
Dari beberapa karyanya di atas, jelas bahwa al-Haitsami memiliki perhatian yang besar dan khusus terhadap Zawa’id. 

Guru-gurunya selain al-’Iraqi
Selain al-’Iraqiy, dia juga berguru kepada Abu al-Fath al-Maydumiy, Ibn al-Muluk, Ibn al-Qaṭrawaniy, Ibn al-Khabbaz, Ibn al-Hamawiy, Ibn Qayyim al-Ḍiyaiyyah, Ibn Abdul Hadi, Muhammad Ibn Abdullah al-Nu’maniy, Ahmad Ibn al-Raṣdiy, al-’Arḍiy, Mudhfir al-din Muhammad Bin Muhammad Bin Yahya al-’Attar dan Ahmad Ibn Abdurrahman al-muradiy.

Sebab Penulisan karya
Al-Haitsami berkata ” Setelah aku mengumpulkan zawāid Musnad Imam Ahmad, Abi ya’la al-Mauṣiliy, dan Abu Bakr al-Bazzar, kemudiaan tiga Mu’jam al-Ṭhabrani, Guruku berkata kepadaku ’kumpulkanlah karya-karya ini tanpa menyebutkan sanad-sanadnya agar terkumpul hadis-hadis setiap bab pada satu bab saja.’ Ketika itu akupun mengerjakan arahannya dan memohon kepada Allah pertolongan dan mendapat kemudahan dari-Nya.” 

Metodologi penulisan
Ia berkata ”aku menamai karya ini seperti yang di berikan guruku (majma’ al-zawaid wa manba’ al-fawaid). Adapun hadis-hadis yang aku bincangkan kesahihan dan keḍaifannya, apabila hadis itu dari seorang sahabat kemudian kusebutkan matannya, maka aku cukup membincangkan satu hadis yang pertama sahaja. Kecuali jika hadis yang kedua lebih sahih. Apabila hadis tersebut di riwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal maka akan aku teliti rijalnya, keculai ada sanad yang lebih sahih. Jika suatu hadis mempunyai satu sanad yang sahih, maka aku tidak lagi membincangkan hadis-hadis yang lain walaupun sanadnya lemah.

Adapun guru-guru kepada al-Ṭhabrani, yang di dapati dalam kitab Lisan al-Mizan, aku jelaskan keḍaifannya.
Kalau tidak ada dalam kitab tersebut maka aku masukkan ke kategori tsiqah. Manakala sahabat tidak mesti disyaratkan untuk masuk dalam karya rijal yang sahih, begitu juga guru-guru al-Ṭhabrani yang tidak didapati dalam kitab al-Mizan.

Adapun mengenai metode penulisan kitab, al-Haitsami juga menyebutkannya dalam muqadimah kitabnya. Ia berkata, “Saya menyusun kitab ini sesuai dengan urutan bab yang terdapat dalam kitab fiqih agar memudahkan bagi saya pribadi dan bagi para pembaca. Kemudian saya menyebutkan Hadis diriwayatkan oleh Abu Ya’la namun tidak diriwayatkan oleh ashhab kutub al-khamsah (al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al Nasa’i dan at Tirmidzi) secara sempurna. Adapun mengenai Hadis yang sama-sama diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan ashhab kutub al-khamsah¸ namun terdapat tambahan redaksi, maka saya juga menyebutkannya, kemudian saya memberikan peringatan terhadap tambahan tersebut dengan redaksi “Hadis ini diriwayatkan oleh fulan namun tidak terdapat ucapan yang seperti ini”. Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan redaksi
 يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفْتِنَا فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَقَالَ ائْتُوهُ فَصَلُّوا فِيهِ وَكَانَتْ الْبِلَادُ إِذْ ذَاكَ حَرْبًا فَإِنْ لَمْ تَأْتُوهُ وَتُصَلُّوا فِيهِ فَابْعَثُوا بِزَيْتٍ يُسْرَجُ فِي قَنَادِيلِهِ
Wahai rasulullah, berikanlah kami fatwa tentang bait al-Maqdis, maka Rasulullah saw bersabda: “Datangilah ia, shalatlah di dalamnya, jika di negeri itu terdapat peperangan apabila engkau tidak mengunjunginya dan dan belum shalat disana, maka ambillah zaitun yang dijadikan minyak dari tumbuhannya”.
Namun, dalam Musnad Abu Ya’la dari riwayat Maimunah isteri Nabi terdapat tambahan redaksi sebagai berikut:
 يا رسول الله أفتنا في بيت المقدس قال هو أرض المحشر وأرض المنشر ائتوه فصلوا فيه فإن صلاة فيه كالف صلاة، قلنا يا رسول الله فمن لم يستطع أن يتحمل إليه قال من لم يستطع أن يأتيه فليهد إليه زيتا يسرج فيه فإن من أهدى إليه زيتا كان كمن قد أتاه
Wahai Rasulullah, berikanlah kami fatwa tentang bait al Maqdis, maka Rasulullah saw bersabda: “Ia adalah tanah tempat berkumpul, tanah tempat menghidupkan makhluk, datangilah ia, shalatlah di dalamnya, kami berkata: wahai Rasulullah, jika tidak mampu melaksanakannya?, Rasulullah bersabda: siapa yang tidak mampu mendatanginya, hendaklah hadiahkan padanya zaitun yang dijadikan minyak, Sesungguhnya siapa yang telah dihadiahkan zaitun maka ia bagaikan telah mengunjunginya.” Selain itu, metodologi yang lainnya adalah sebagai berikut:
 a. Menyebutkan Hadis dengan sanad yang dimiliki Abu Ya’la sampai kepada akhir sanad tersebut.
b. Tidak memberikan komentar apapun terhadap suatu Hadis, terkait fiqih, bahasa dan maksud hadis tersebut.
c. memberikan keterangan terkait matan jika terdapat perbedaan antara riwayat Abu Ya’la dengan mukharrij lain, atau jika terjadi peringkasan matan.
d. Memulai penulisan Hadis dengan diawali oleh kitab (bab) al-Iman dan diakhiri dengan kitab (bab) al-Zuhd.
e. Jika ada Hadist yang sanad atau matannya sama, al Haitsami tidak menyebut ulang, beliau hanya mengisyaratkan dengan ungkapan seperti: فذكر نحوه.
Wallahu A’lam

Kitab-kitab Zawaid



Kitab zawaid adalah kitab atau karya tulis yang dimaksudkan untuk mengumpulkan tambahan dari kitab-kitab tertentu seperti kitab musnad dan mu’jam ke dalam kitab-kitab rujukkan hadits seperti al-Kutub as-Sittah, Musnad Ahmad, Shahih Ibnu Hibban, dan lain-lainnya.
Urgensi kitab Zawaid dan manfaatnya
1.                        Sesungguhnya kitab-kitab ini menjadi ensiklopedia hadits, jika sebagian digabungkan dengan yang lainnya.
2.                        Sesungguhnya kitab zawaid ini bisa digunakan untuk mengetahui mutaba’ah dan syawahid dan mengetahui jalan periwayatan sebagian hadis, yang mana jika bukan karena kitab zawaid, niscaya kita tidak akan mengenal hadis-hadis tersebut, baik karena hilangnya kitab asal ataupun karena kesulitan dalam memperolehnya.
Pencetus Ide Kitab Zawaid
Al-Hafizh Zainuddin Abdurrahman bin al-Husain al-Iraqi (W. 806 H) dianggap sebagai penemu pertamakali ide kitab zawaid, meskipun sejauh pengetahuan yang ada, dia belum menulis satu pun kitab tentang hal itu, akan tetapi dia mengarahkan hal itu kepada tiga orang muridnya yang mana dari mereka itulah madrasah hadis terbentuk di akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9 Hijriyyah. Mereka adalah:
1.                  Al-Hafizh Abu Bakar Nuruddin al-Haitsami (807 H)
2.                  Al-Hafizh Syihabuddin Abu al-Abbas al-Bushiri (840 H)
3.                  Al-Hafizh Abu al-Fadhl Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani (852 H)

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kajian hadis telah mengalami perkembangan sepanjang sejarah dan melewati beberapa fase yang berbeda-beda yang di mulai sejak Rasulullah Saw. masih hidup sampai zaman kita sekarang. Muhammad Abu Zahwu telah membagi fase perkembangan Hadis tersebut secara global menjadi tujuh periode:
1.      Perkembangan Hadis pada masa Rasulullah SAW,
2.      Perkembangan Hadis pada masa khilafah al-Rasyidah,
3.      Perkembangan Hadis pasca khilafah al-Rasyidah sampai penghujung abad pertama hijriyah,
4.      Perkembangan Hadis pada abad kedua hijriyah,
5.      Perkembangan Hadis pada abad ketiga hijriyah,
6.      Perkembangan Hadis sejak abad keempat sampai tahun 656 Hijriyah,
7.      Perkembangan Hadis sejak tahun 656 Hijriyah sampai masa sekarang.
Dari klarifikasi fase di atas, kitab Zawaid termasuk ke dalam fase ketujuh dan ia termasuk salah satu kitab Hadis yang paling penting setelah kitab-kitab hadis lainnya yang populer di kalangan para pelajar. Hal ini disebabkan karena kitab ini mencakup hadis-hadis yang tidak diriwayatkan oleh para pengarang kitab hadis populer yang lain. Salah satu contoh kitab zawaid adalah kitab yang akan kita kaji berikut ini.
Biografi al-Haitsami
Nama lengkap al-Haitsami adalah Ali bin Abu Bakar bin Sulaiman bin Abu Bakar bin ‘Amar bin Shalih. Laqabnya (julukan) adalah Abu al-Hasan, kuniyahnya adalah Nuruddin dan ia lebih dikenal dengan panggilan al-Haistami. Ia lahir di Mesir pada bulan Rajab tahun 735 H dan meninggal di Mesir pula pada bulan Ramadhan tahun 807 H. Orang tuanya adalah pedagang di gurun pasir dan ia menyerahkan putranya al-Haitsami untuk dididik kepada orang yang mengajarinya membaca al-Quran yaitu Zainudin al-‘Iraqi. Bersama gururnya al-‘Iraqi, Abu Bakar al-Haitsami berangkat ke Mekah, Madinah, Damaskus dan daerah lainnya untuk menuntut ilmu khususnya ilmu Hadis. Pada akhirnya Abu Bakar al-Haitsami menjadi orang alim, hafidz dan zuhud.
Karena itu, Al-‘Iraqi sangat menyayangi dan percaya kepada keilmuan al-Haitsami, sehingga ia terkadang menyuruh Abu Bakar al-Haitsami untuk menggantikannya dalam mengurus beberapa urusannya, yang pada akhirnya ia menikahkan al-Haitsami dengan putrinya yang bernama Khadijah. Termasuk karya-karya al-Haitsami adalah:
- Majma al-Zawaid Wa Mamba’ al-Fawaid Fi al-Zawaid ‘Ala al-Kutub al-Sittah
- Mawarid al-Dham’an Fi Zawaid Shahih Ibn Hiban
- Zawaid Sunan al-Daruquthni
- Zawaid Ibn Majah ‘Ala al-Kutub al-Khamsah
- Ghayah al-Maqsad Fi Zawaid Ahmad
Dari beberapa karyanya di atas, jelas bahwa al-Haitsami memiliki perhatian yang besar dan khusus terhadap Zawa’id. 

Guru-gurunya selain al-’Iraqi
Selain al-’Iraqiy, dia juga berguru kepada Abu al-Fath al-Maydumiy, Ibn al-Muluk, Ibn al-Qaṭrawaniy, Ibn al-Khabbaz, Ibn al-Hamawiy, Ibn Qayyim al-Ḍiyaiyyah, Ibn Abdul Hadi, Muhammad Ibn Abdullah al-Nu’maniy, Ahmad Ibn al-Raṣdiy, al-’Arḍiy, Mudhfir al-din Muhammad Bin Muhammad Bin Yahya al-’Attar dan Ahmad Ibn Abdurrahman al-muradiy.

Sebab Penulisan karya
Al-Haitsami berkata ” Setelah aku mengumpulkan zawāid Musnad Imam Ahmad, Abi ya’la al-Mauṣiliy, dan Abu Bakr al-Bazzar, kemudiaan tiga Mu’jam al-Ṭhabrani, Guruku berkata kepadaku ’kumpulkanlah karya-karya ini tanpa menyebutkan sanad-sanadnya agar terkumpul hadis-hadis setiap bab pada satu bab saja.’ Ketika itu akupun mengerjakan arahannya dan memohon kepada Allah pertolongan dan mendapat kemudahan dari-Nya.” 

Metodologi penulisan
Ia berkata ”aku menamai karya ini seperti yang di berikan guruku (majma’ al-zawaid wa manba’ al-fawaid). Adapun hadis-hadis yang aku bincangkan kesahihan dan keḍaifannya, apabila hadis itu dari seorang sahabat kemudian kusebutkan matannya, maka aku cukup membincangkan satu hadis yang pertama sahaja. Kecuali jika hadis yang kedua lebih sahih. Apabila hadis tersebut di riwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal maka akan aku teliti rijalnya, keculai ada sanad yang lebih sahih. Jika suatu hadis mempunyai satu sanad yang sahih, maka aku tidak lagi membincangkan hadis-hadis yang lain walaupun sanadnya lemah.

Adapun guru-guru kepada al-Ṭhabrani, yang di dapati dalam kitab Lisan al-Mizan, aku jelaskan keḍaifannya.
Kalau tidak ada dalam kitab tersebut maka aku masukkan ke kategori tsiqah. Manakala sahabat tidak mesti disyaratkan untuk masuk dalam karya rijal yang sahih, begitu juga guru-guru al-Ṭhabrani yang tidak didapati dalam kitab al-Mizan.

Adapun mengenai metode penulisan kitab, al-Haitsami juga menyebutkannya dalam muqadimah kitabnya. Ia berkata, “Saya menyusun kitab ini sesuai dengan urutan bab yang terdapat dalam kitab fiqih agar memudahkan bagi saya pribadi dan bagi para pembaca. Kemudian saya menyebutkan Hadis diriwayatkan oleh Abu Ya’la namun tidak diriwayatkan oleh ashhab kutub al-khamsah (al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al Nasa’i dan at Tirmidzi) secara sempurna. Adapun mengenai Hadis yang sama-sama diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan ashhab kutub al-khamsah¸ namun terdapat tambahan redaksi, maka saya juga menyebutkannya, kemudian saya memberikan peringatan terhadap tambahan tersebut dengan redaksi “Hadis ini diriwayatkan oleh fulan namun tidak terdapat ucapan yang seperti ini”. Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan redaksi
 يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفْتِنَا فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَقَالَ ائْتُوهُ فَصَلُّوا فِيهِ وَكَانَتْ الْبِلَادُ إِذْ ذَاكَ حَرْبًا فَإِنْ لَمْ تَأْتُوهُ وَتُصَلُّوا فِيهِ فَابْعَثُوا بِزَيْتٍ يُسْرَجُ فِي قَنَادِيلِهِ
Wahai rasulullah, berikanlah kami fatwa tentang bait al-Maqdis, maka Rasulullah saw bersabda: “Datangilah ia, shalatlah di dalamnya, jika di negeri itu terdapat peperangan apabila engkau tidak mengunjunginya dan dan belum shalat disana, maka ambillah zaitun yang dijadikan minyak dari tumbuhannya”.
Namun, dalam Musnad Abu Ya’la dari riwayat Maimunah isteri Nabi terdapat tambahan redaksi sebagai berikut:
 يا رسول الله أفتنا في بيت المقدس قال هو أرض المحشر وأرض المنشر ائتوه فصلوا فيه فإن صلاة فيه كالف صلاة، قلنا يا رسول الله فمن لم يستطع أن يتحمل إليه قال من لم يستطع أن يأتيه فليهد إليه زيتا يسرج فيه فإن من أهدى إليه زيتا كان كمن قد أتاه
Wahai Rasulullah, berikanlah kami fatwa tentang bait al Maqdis, maka Rasulullah saw bersabda: “Ia adalah tanah tempat berkumpul, tanah tempat menghidupkan makhluk, datangilah ia, shalatlah di dalamnya, kami berkata: wahai Rasulullah, jika tidak mampu melaksanakannya?, Rasulullah bersabda: siapa yang tidak mampu mendatanginya, hendaklah hadiahkan padanya zaitun yang dijadikan minyak, Sesungguhnya siapa yang telah dihadiahkan zaitun maka ia bagaikan telah mengunjunginya.” Selain itu, metodologi yang lainnya adalah sebagai berikut:
 a. Menyebutkan Hadis dengan sanad yang dimiliki Abu Ya’la sampai kepada akhir sanad tersebut.
b. Tidak memberikan komentar apapun terhadap suatu Hadis, terkait fiqih, bahasa dan maksud hadis tersebut.
c. memberikan keterangan terkait matan jika terdapat perbedaan antara riwayat Abu Ya’la dengan mukharrij lain, atau jika terjadi peringkasan matan.
d. Memulai penulisan Hadis dengan diawali oleh kitab (bab) al-Iman dan diakhiri dengan kitab (bab) al-Zuhd.
e. Jika ada Hadist yang sanad atau matannya sama, al Haitsami tidak menyebut ulang, beliau hanya mengisyaratkan dengan ungkapan seperti: فذكر نحوه.
Wallahu A’lam

Wednesday, January 23, 2013

باب من فضائل علي بن أبي طالب، رضي الله عنه





(
1) حدثنا يحيى بن يحيى التميمي وأبو جعفر، محمد بن الصباح وعبيدالله القواريري وسريج بن يونس. كلهم عن يوسف بن الماجشون (واللفظ لابن الصباح). حدثنا يوسف، أبو سلمة الماجشون. حدثنا محمد بن المنكدر عن سعيد بن المسيب، عن عامر بن سعد ابن أبي وقاص، عن أبيه، قال:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي "أنت مني بمنزلة هارون من موسى. إلا أنه لا نبي بعدي".
قال سعيد: فأحببت أن أشافه بها سعدا. فلقيت سعدا. فحدثته بما حدثني عامر. فقال: أنا سمعته. فقلت: آنت سمعته؟ فوضع إصبعيه على أذنيه فقال: نعم. وإلا فاستكتا


1.                  Yahya bin Yahya At-Tamimi, Abu Ja’far Muhammad bin Ash-Shabbah, Ubaidullah Al-Qawariri, dan Suraij bin Yunus telah memberitahukan kepada kami, riwayat mereka semua berasal dari riwayat Yusuf Al-Majisyun telah memberitahukan kepada kami, Muhammad bin Al-Munkadir telah memberitahukan kepada kami, dari Sa’id bin Al-Musayyab, dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah Saw. Bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, “Sesungguhnya kedudukanmu di sisiku adalah seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada Nabi sesudahku.”
Sa’id berkata, “Aku ingin sekali menceritakan ini kepada Sa’ad, kemudian aku pun bertemu dengannya. Aku lalu menceritakan apa yang telah diceritakan Amir kepadaku. Sa’ad berkata, “Aku telah mendengarnya.” Aku (Sa’id) bertanya, “Benarkah engkau telah mendengarnya?” Dia meletakkan kedua jarinya di telinganya seraya berkata, “Ya, jika tidak, semoga kedua telinga ini menjadi tuli.”
Takhrij Hadits
Ditakhrij oleh At-Tirmidzi di dalam Kitab al-Manaaqib, Bab 21 (nomor 3731), Tuhfah al-Asyraf  (nomor 3858)

 (2) وحدثنا أبو بكر بن أبي شيبة. حدثنا غندر عن شعبة. ح وحدثنا محمد بن المثنى وابن بشار. قالا: حدثنا محمد بن جعفر. حدثنا شعبة عن الحكم، عن مصعب بن سعد بن أبي وقاص، عن سعد بن أبي وقاص. قال:
خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب، في غزوة تبوك. فقال: يا رسول الله! تخلفني في النساء والصبيان؟ فقال "أما ترضى أن تكون مني بمنزلة هارون من موسى؟ غير أنه لا نبي بعدي".

2.                  Dan Abu Bakar bin Abi Syaibah telah memberitahukan kepada kami, Ghundar telah memberitahukan kepada kami dari Syu’bah. (H) Muhammad bin Al-Mutsanna dan Ibnu Basysyar telah telah memberitahukan kepada kami, keduanya berkata, Muhammad bin Ja’far telah memberitahukan kepada kami, Syu’bah telah memberitahukan kepada kami dari al-Hakam, dari al-Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash, dari Sa’ad bin Abi Waqqash, ia berkata, “Rasulullah menugaskan Ali bin Abi Thalib untuk tetap tinggal di Madinah (tidak ikut perang) sewaktu perang Tabuk, maka Ali berkata, “Wahai Rasulullah engkau meninggalkan aku bersama para wanita dan anak-anak?” beliau menjawab, “Tidakkah kamu rela memperoleh kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja tidak ada Nabi sesudahku.”
Ditakhrij oleh AlBukhari dalam Kitab Al-Maghazi, Bab Ghazwah Tabuk  (nomor 4416), Tuhfah al-Asyraf (nomor 3931)

 أَلَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى إِلَّا أَنَّهُ لَيْسَ نَبِيٌّ بَعْدِي
Tidakkah engkau rela kedudukanmu dariku seperti kedudukan Harun dari Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku.
Hadist ini memiliki banyak riwayat, diantaranya:
1.  Shahih Bukhari 4064: Telah menceritakan kepada kami Musaddad Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Syu’bah dari Al Hakam dari Mush’ab bin Sa’ad dari Bapaknya bahwaRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menugasi Ali bin Abu Thalib untuk menjaga kaum muslimin ketika terjadi perang Tabuk.” Ali berkata; “Ya Rasulullah, mengapa engkau hanya menugasi saya untuk menjaga kaum wanita dan anak-anak?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tidak inginkah kamu hai Ali memperoleh posisi di sisiku seperti posisi Harun di sisi Musa, padahal sesudahku tidak akan ada nabi lagi?” Abu Daud berkata; Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Al Hakam Aku mendengar Mus’ab.
2.  Shahih Muslim 4419: Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada kami Ghundar dari Syu’bah; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Ibnu Basysyar keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Al Hakam dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash dari Sa’ad bin Abi Waqqash dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menugasi Ali bin Abu Thalib ketika terjadi perang Tabuk.” Ali berkata, “Ya Rasulullah, mengapa engkau hanya menugasi saya untuk menjaga kaum wanita dan anak-anak di rumah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tidak inginkah kamu hai Ali memperoleh posisi di sisiku seperti posisi Harun di sisi Musa, hanya sesudahku tidak akan ada nabi lagi?” Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Mu’adz; Telah menceritakan kepada kami Bapakku; Telah menceritakan kepada kami Syu’bah melalui jalur ini.
3.  Shahih Muslim 4421: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada kami Ghundar dari Syu’bah; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Ibnu Basysyar keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Sa’ad bin Ibrahim Aku mendengar Ibrahim bin Sa’ad dari Sa’ad dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda kepada Ali; Tidakkah kamu rela bahwa kedudukanmu denganku seperti kedudukan Harun dengan Musa?
4.  Sunan Tirmidzi 3663: Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ali: “Kedudukanmu bagiku ibarat kedudukan Harun dari Musa, hanya saja tidak ada Nabi sesudahku.” Abu Isa berkata; “Hadits ini derajatnya hasan gharib melalui jalur ini, dan dalam bab ini, ada juga riwayat dari Sa’d, Zaid bin Arqam, Abu Hurairah dan Ummu Salamah.”
5.  Sunan Ibnu Majah 112: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Sa’d bin Ibrahim ia berkata; aku mendengar Ibrahim bin Sa’id bin Abu Waqqash menceritakan dari Bapaknya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda kepada Ali“Apakah kamu tidak ridla, jika kedudukanmu di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa.”
6.   Musnad Ahmad 1498: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Al Hakam dari Mush’ab bin Sa’d dari Sa’d bin Abu Waqash berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat Ali bin Abu Thalib (sebagai pengganti beliau) pada saat Perang Tabuk, kemudian Ali RAdhiallah ‘anhu berkata; “Wahai Rasulullah, apakah anda meninggalkanku bersama para wanita dan anak-anak!” beliau bersabda: “Tidakkah kamu rela bahwa kedudukanmu denganku seperti kedudukan Harun dengan Musa? Hanya saja tidak ada Nabi setelahku”
Hadist ini dapat diterangkan menjadi beberapa aspek:
Pertama, Nabi Saw. mengangkat Ali r.a. sebagai penggantinya atas Madinah pada perang tabuk. Dan ini merupakan hal yang biasa dilakukan beliau Saw. dengan mengangkat salah seorang dari para shahabatnya sebagai penggantinya atas Madinah, akan tetapi tatkala beliau Saw. mengangkat Ali, kaum munafik mengejeknya. Lalu ia menemui Nabi Saw. untuk mengadukan tuduhan kaum munafik itu, lalu nabi Saw. menghiburnya dengan hal itu (ucapan dalam hadist itu, pent.), maka pulanglah ia.
Kedua, beliau  Saw. mengumpamakannya sebagai Harun, saudara Musa, adalah dalam penggantian sementara, sebab Harun adalah pengganti Musa ketia ia (Musa) pergi (untuk munajat) dengan Rabbnya pada waktu yang telah ditentukan, lalu berakhirlah masa penggantian itu sepulang Musa. Namun Harun tidak mengganti Musa setelah meninggalnya ia (Musa) karena ia wafat sebelum Musa.
Ketiga, pengangkatan ini telah berakhir setelah Nabi Saw. kembali, kemudian beliau Saw. mengutusnya setelah itu ke Yaman bersama Mu’adz dan Abu Musa Al-Asy’ari. Dan Nabi Saw. pergi haji dan beliau mengangkat orang lain untuk menjadi penggantinya atas Madinah. Maka ini menunjukkan bahwa pengangkatan itu telah terputus.
Keempat, Adanya hadist-hadist ini di dalam kitab-kitab Ahlussunnah menunjukkan bahwa para shahabat adalah jujur dan tidak menyembunyikan hadist nabi yang sampai kepadanya. Begitu juga imam hadist telah menulis hadist-hadist ini dalam kitab mereka, ini menunjukkan mereka juga tidak menyembunyikan ilmu dan telah jujur tanpa kepentingan tertentu. Tentu ini sangat kontradiktif bagi syiah, karena mereka menuduh shahabat telah murtad kecuali 3 shahabat, dan mereka juga tidak mempercayai dan tidak memakai hadist-hadist di dalam kitab ahlussunnah. Namun aneh memang karena mereka memperkuat argumen-argumen mereka dengan memakai hadits-hadits ahlussunnah.

- (3) حدثنا قتيبة بن سعيد. حدثنا يعقوب (يعني ابن عبدالرحمن القاري) عن سهيل، عن أبيه، عن أبي هريرة؛
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال، يوم خيبر "لأعطين هذه الراية رجلا يحب الله ورسوله. يفتح الله على يديه". قال عمر بن الخطاب: ما أحببت الإمارة إلا يومئذ. قال فتساورت لها رجاء أن أدعى لها. قال فدعا رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب. فأعطاه إياها. وقال "امش. ولا تلتفت. حتى يفتح الله عليك". قال فسار علي شيئا ثم وقف ولم يلتفت. فصرخ: يا رسول الله! على ماذا أقاتل الناس؟ قال "قاتلهم حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله. فإذا فعلوا ذلك فقد منعوا منك دماءهم وأموالهم. إلا بحقها. وحسابهم على الله".


3.                  Qutaibah bin Sa’id telah memberitahukan kepada kami, Hatim—Ibnu Isma’il—telah memberitahukan kepada kami, dari Yazid bin Abi Ubaid, dari Salamah bin Al-Akwa’, ia berkata,” Pada perang Khaibar, Ali bin Abi Thalib telah tertinggal dari pasukan Nabi saw. Karena terserang penyakit mata” dia berkata, “Aku tertinggal dari pasukan Rasulullah saw.” Akhirnya Ali keluar menyusul Rasulullah saw. Pada waktu sore  di mana keesokan paginya Allah memberikan kemenangan kepada pasukan Islam. Rasulullah saw. bersabda “Sungguh aku akan berkan bendera ini—atau beliau bersabda—bendera ini akan dipegang”- esok har oleh seorang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya—atau beliau bersabda, “Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya”. Tiba-tiba kami bertemu dengan Ali maka hilanglah harapan kami untuk diberi bendera tersebut. Para sahabat berkata “inilah Ali.” Rasulullah saw. lalu memberikan bendera tersebut kepada Ali. Dan akhirnya Allah memberikan kemenangan padanya.”
Ditakhrij oleh Al-Bukhari dalam Kitab Al-Jihad wa As-Sair, bab Ma Qola fii Liwa’ An-Nabi saw. (nomor 2975), Kitab Fadhail Shahabah, bab Manaqib Ali bin Abi Thalib al-Quraisyi al-Hasyimi Abi al-Hasan r.a. (nomor 4209 dan 4543), Tuhfah al-Asyraf (nomor 4713)

Peperangan yang cukup sengit terjadi di sekitar benteng Naa’im, satu dari delapan benteng mereka yang terkenal kokoh. Berkali-kali tentara kaum muslimin mencoba untuk menjebol benteng tersebut tetapi selalu gagal. Kemudian pada suatu malam Rasulullah saw bersabda kepada para sahabatnya:
“Sungguh aku akan menyerahkan panji perang ini besok kepada seorang laki-laki yang Allah akan memberikan kemenangan lewat kedua tangannya, dia mencintai Allah dan Rasul-Nya serta dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” Maka para sahabat sibuk membicarakan tentang siapakah yang akan menerima panji tersebut. Maka ketika di pagi hari para sahabat mendatangi Rasulullah saw masing-masing mengharap bahwa dialah yang akan diserahi panji perang tersebut. Lalu beliau saw bersabda, “Di manakah ‘Ali bin Abi Thalib?” Para sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, dia sedang sakit mata.” Beliau bersabda, “Panggillah dia untuk datang kesini.” Ia pun didatangkan lalu Rasulullah saw  meludah pada kedua matanya dan mendo’akannya maka sembuhlah sakitnya bahkan seolah-olah tidak pernah sakit sebelumnya. Kemudian beliau menyerahkan panji perang tersebut kepadanya. Lalu ‘Ali bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah aku perangi mereka hingga menjadi muslim seperti kami?” Beliau bersabda, “Berjalanlah dengan perlahan sampai engkau mendatangi halaman mereka, kemudian serulah mereka untuk masuk Islam dan beritahulah tentang hak-hak Allah yang wajib atas mereka. Demi Allah! Seandainya Allah memberi hidayah kepada satu orang saja dengan sebabmu maka itu lebih baik bagimu daripada engkau memiliki unta yang merah-merah.” (HR. Bukhari)
Adapun pengaruh dari tiupan ludah Rasulullah saw kepada ‘Ali tersebut dilukiskan sendiri olehnya sebagai berikut, “Aku tidak pernah sakit mata dan tidak pernah pusing semenjak Rasulullah saw mengusap wajahku dan meludah pada kedua mataku pada waktu perang Khaibar yaitu saat beliau menyerahkan panji perang kepadaku.” (HR. Ahmad dan Abu Ya’la, hadits shahih)
Kemudian kaum muslimin menggempur sekali lagi benteng-benteng Yahudi tersebut dengan semangat yang baru. ‘Ali bin Abi Thalib keluar memimpin kaum muslimin menuju benteng tersebut. Sebelum melakukan penyerangan dia menyeru orang-orang yang Yahudi terlebih dahulu untuk masuk Islam akan tetapi mereka menolak seruan tersebut dan mereka menantang kaum muslimin dengan dipimpin oleh Marhab, raja mereka. Marhab menantang perang tanding (duel) seraya berkata:
“Medan Khaibar telah tahu bahwa akulah Marhab!
Penyandang senjata pahlawan yang teruji!
Jika peperangan telah berkecamuk dan menyala!”
Amir bin Al Akwa’ ra maju untuk menghadapinya, perang tanding berjalan seru akan tetapi pada akhirnya Amir terbunuh sebagai syahid, maka Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya baginya dua pahala –seraya beliau mengisyaratkan dengan kedua jarinya- sesungguhnya dia telah bersungguh-sungguh dan mujahid yang sedikit sekali seorang Arab yang berjalan seperti dia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian dengan sombongnya Marhab menantang sekali lagi perang tanding seraya melantunkan bait-bait syair di atas, maka ‘Ali bin Abi Thalib maju seraya berkata:
“Akulah yang diberi nama oleh ibuku dengan Haidar (singa)
Bagaikan singa hutan yang seram tampangnya.
……. “
Sekejap saja beliau berhasil memukul kepala Marhab dan menewaskannya saat itu juga. Kemudian kemenangan kaum muslimin dapat diraih dengan kepemimpinan ‘Ali bin Abi Thalib.
Ibnu Ishak meriwayatkan dari Abu Rafiq ra bahwa ia berkata, “Ketika peperangan berkecamuk, ‘Ali bin Abi Thalib sempat mengambil salah satu pintu benteng untuk dijadikan tameng (perisai)nya, pintu tersebut senantiasa dipegangnya sambil berperang menghadapi lawan sampai Allah memberikan kemenangan atas kami, setelah itu beliau lemparkan pintu tersebut. Sungguh aku menyaksikan bahwa delapan orang di antara kami berupaya keras untuk membalikkannya tetapi kami tak kuasa (karena beratnya).”
Demikianlah ‘Ali bin Abi Thalib seorang pahlawan Islam yang pemberani lagi zuhud terhadap dunia. Dia pernah berkata, “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takuti adalah hawa nafsu dan panjang angan-angan. Hawa nafsu akan menghalangi seseorang dari mengikuti kebenaran, sedangkan panjang angan-angan akan membuat seorang hamba lupa terhadap akhiratnya. Ingatlah sesungguhnya dunia berlalu ke belakang (meninggalkan kita) sementara akhirat datang menjemput kita. Masing-masing dari keduanya memiliki putra, maka jadilah kalian putra-putra akhirat dan janganlah menjadi putra-putra dunia. Sungguh hari ini adalah saat beramal dan tidak ada hisab, dan kelak yang ada hanyalah hisab dan tidak ada lagi kesempatan beramal.”
Alangkah butuhnya Islam terhadap pemuda-pemuda seperti beliau yang tulus mencintai Allah dan Rasul-Nya, lemah lembut terhadap orang yang beriman, tegas terhadap orang-orang kafir, berjihad di jalan Allah dan tidak takut cercaan orang-orang yang suka mencerca. Inilah sifat-sifat generasi yang diharapkan oleh Islam. Inilah kriteria generasi yang akan membawa perubahan (lihat Qs. Al Maidah{5} :54).  Imam Malik –rahimahullah- pernah berkata, “Tidak akan menjadi baik kondisi generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang generasi awal umat ini menjadi baik dengannya.” Ya, benar! Generasi awal umat Islam tidak melejit menjadi jaya (mulia) kecuali dengan meluruskan aqidah dan tauhidnya, menjadikan Allah, Rasul dan berjihad di jalan-Nya lebih dicintai daripada dunia dan seisinya (lihat Qs. At Taubah{9} :24)













Daftar Pustaka
Imam Nawawi,Tarjamah Syarah Muslim Nawawi Jilid.11, Darus Sunnah. Jakarta, 2011
As Suyuthi, Al Hafidh Jalaaluddin. Taariikhul Khulafaa’. Mizan. Bandung, 2010.
al-Murojaat-Dialog-sunni-syiah-(Sayyed-allamah-syarafuddin-al-musawi-ra) PDF.