Pages

Wednesday, January 23, 2013

mursal

 المرسل
Irman Abdul Rohman
Al-Irsal menurut bahasa berarti melepaskan atau yang dilangsungkan, sedangkan dalam istilah muhadditsin, mereka berselisih pendapat tentang definisi hadis mursal disebabkan perbedaan tempat terjadinya irsal itu.s
Namun definisi yang masyhur adalah:
المرسل هو ما رفعه التابعي بأن يقول: قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم....سواءٌ كان التابعي كبيرًا أو صغيرًا
Hadits Mursal adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi oleh seorang tabiin dengan mengatakan, “Rasulullah Saw. berkata...” baik ia tabiin besar maupun tabiin kecil.
Jelasnya dalam sanad itu, tabi’in tidak pernah menyebut nama orang yang mengkhabarkan hadits itu kepadanya, tetapi langsung menyebut nama Nabi Saw saja.
Contoh hadits mursal:
عن مالك عن عبد الله بن أبي بكر بن حزم أنّ في الكتاب الّذي كتبه رسول الله ص. لعمرو بن حزم: أن لا يمسَّ القرأن إلَّا طاهرٌ
Artinya: Dari Malik, dari ‘Abdillah bin Abi Bakar bin Hazm, bahwa dalam surat yang Rasulullah Saw. tulis kepada ‘Amr bin Hazm (tersebut): “Bahwa tidak menyentuh al-Quran melainkan orang yang bersih.” (Al-Muwaththa 1: 157)

Gambaran susunan sanad rawi-rawi Hadits itu demikian:
1.      Malik,s
2.      ‘Abdullah bin Abi Bakar,
3.      Rasulullah Saw.
Abdullah bin Abi Bakar ini seorang tabii, sedang seorang tabii tidak bertemu dan tidak semasa dengan Nabi Saw., mestinya Abdullah menerima riwayat itu dari seorang lain atau sahabat. Karena ia tidak menyebutkan nama sahabat atau orang yang mengkhabarkan kepadanya, melainkan ia langsung menyebut nama Rasulullah Saw., itulah yang dinamakan mursal.

Hukum Hadits Mursal
Para ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan hadis mursal dengan perbedaan yang sangat menonjol, yakni terbagi kepada tiga pendapat.
Pendapat Pertama, yaitu pendapat jumhur dan kebanyakan fuqaha dan ahli ushul menyatakan bahwa hadis mursal itu dhaif dan tidak dapat dipakai hujjah. Alasannya adalah karena rawi yang tidak disebutkan itu tidak dapat diketahui identitas dan sifatnya dan boleh jadi ia bukanlah seorang sahabat. Bilakah demikian maka tidak dapat diketahui pula apakah rawi-rawinya meriwayatkan dari orang yang tsiqat atau pula tidak tsiqat. Oleh karena itu, apabila salah seorang rawi meriwayatkan hadits dengan meng-irsal-kannya, maka boleh jadi ia menerima hadits tersebut dari orang yang tidak tsiqat. Ataupun rawi yang meng-irsal-kan itu tidak pernah meriwayatkan kecuali dari yang tsiqat, tetap saja tidak cukup karena diaanggap menilai ke-tsiqat-an orang yang tidak jelas identitasnya.
Pendapat kedua, yakni pendapat Imam al-Syafi’i, sebagaimana tertulis dalam al-Risalah bahwa hadis mursal kibar al-tabiin dapat diterima dengan beberapa syarat, apakah itu pada matan hadis ataupun pada rawi yang meng-irsal-kannya.
Hadits yang mursal itu harus didukung oleh salah satu dari empat faktor.
a.       Diriwayatkan secara musnad melalui jalan lain.
b.      Diriwayatkan secara mursal (pula) oleh rawi lain yang tidak menerima hadis tersebut dari guru-guru pada sanad yang pertama, karena hal ini menunjukkan berbilangnya jalur hadis itu.
c.       Sesuai dengan pendapat sebagian sahabat.
d.      Sesuai dengan pendapat kebanyakan ahli ilmu.
Adapun syarat pada rawinya adalah apabila ia menyebutkan nama gurunya, maka gurunya itu bukanlah orang yang majhul dan bukan orang yang dibenci riwayatnya. Bilakah faktor-faktor ini terdapat dalam suatu hadis yang dinyatakan mursal, maka hal ini akan mengindikasikan keshahihan sumber hadis tersebut berdasar pada penguat-penguatnya tadi, inilah alasan Imam Syafi’i menyatakan hadis mursal bisa saja diterima kehujjahannya.
Pendapat ketiga, adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, beserta murid-murid dari Malik yang menyatakan riwayat mursal dari orang yang tsiqat dapat dipakai hujjah dan termasuk sahih. Alasannya adalah sebagai berikut:
a.       Rawi yang tsiqat tidak akan mau meriwayatkan hadis dari Rasulullah Saw. apabila orang yang mendengar dari beliau bukanlah orang tsiqat, terlebih lagi kemungkinan besar bahwa para tabiin umumnya menerima hadis dari para sahabat, dan mereka adalah orang yang jujur dan adil.
b.      Umat Islam pada periode itu umumnya jujur dan adil sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw. oleh karena itu, bilakah kita tidak menemukan tanda-tanda jarh-nya seorang perawi maka yang lebih mungkin adalah dia adil dan dapat diterima hadisnya.
Perdebatan ini terbahas secara panjang lebar dalam kitab Jami’ al-Tahshil yang disusun oleh al-Hafizh al-‘Ala’i.
Dr.Nuruddin ‘Itr dalam kitab Manhaj an-Naqd berasumsi bahwa hadis mursal itu berada di antara kemungkinan shahih dan dhaif, bilakah ia didukung faktor-faktor yang memperkuatnya maka seyogianya ia diberlakukan sebagai hadis shahih. Demikianlah puncak upaya para Imam fuqaha dalam masalah ini menurutnya.

Al-Mursal al-Jali
Mursal di sini artinya terputus dan “Jali” berarti “yang terang” atau “yang nyata.” Dalam ilmu hadis mursal jali adalah “Satu Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari seorang syaikh, tetapi syaikh ini tidak semasa dengannya.” (Al-Kifayah: 384)
Contoh hadisnya adalah sebagai berikut:

حدَّثنا مسدَّدٌ قال: ثنا هشيمٌ عن داؤد بن عمر و عن عبد الله بن أبي زكريّا عن أبي درداء قال: قال رسول الله ص: إنكم تدعون يوم القيامة بأسمائكم و أسمآء آبائكم فاأحسنوا أسمائكم.
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami, Musaddad, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami, Husyaim, dari Dawud bin ‘Amr, dari Abdullah bin Abi Zakariya, dari Abi ad-Darda, ia berkata: Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya kamu akan dipanggil pada hari Qiamat dengan nama-nama kamu dan nama-nama ayahmu. Oleh karena itu perbaguslah nama-nama kamu.” (Sunan Abu Dawud 2:307)
1)      Tertib susunan sanadnya adalah sebagai berikut:
1.      Abu Dawud,
2.      Musaddad,
3.      Husyaim.
4.      Dawud bin ‘Amr,
5.      Abdullah bin Abi Zakariya,
6.      Abu ad-Darda
7.      Rasulullah Saw.
2)      Sanad ini dikatakan putus, karena Abdullah dan Abu ad-Darda tidak semasa. Abu ad-Darda meninggal pada tahun 32 Hijriyyah, yaitu pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Sedangkan Abdullah bin Abi Zakariya wafat pada tahun 117 Hijriyyah.
3)      Tidak ada perselisihan mengenai hukum hadis yang mursal jali, yaitu dhaif dan tidak boleh dipakai.
Mursal Khafi
Mursal di sini juga bermakna terputus, sedangkan khafi di sini artinya putus dan tersembunyi, putus dan tidak terang. Dalam Ilmu Isnad diterangkan bahwa Mursal khafi ada tiga bentuk, yaitu:
a.       Suatu hadis, yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari seorang syaikh yang semasa dengannya dan bertemu. Tetapi tidak menerima hadis itu dari padanya.
b.      Yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari seorang syaikh yang semasa dengannya, tetapi ia belum pernah bertemu dengannya.
c.       Yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari seorang syaikh yang semasa dan bertemu dengannya, tetapi ia tidak pernah menerima satupun hadis daripadanya.
Contoh hadisnya adalah sebagai berikut:
حدّثنا محمّد بن عبيد المحاربيُّ ثنا عمرو أبو مالك الجنبيُّ عن إسماعيل بن أبي خالد عن عامر عن عليّ بن أبي طالب قال: لا تغال قي كفنٍ فإنّي سمعتُ رسول الله يقول: لا تغالوا في الكفن فإنّه يسلبه سلبًا سريعًا.
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami, ‘Amr Abu Malik al-Janabi, dari Ismail bin Abi Khalid, dari ‘Amir, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata: jangan engkau berlebih-lebihan tentang kafan, karena sesungguhnya akau pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: ‘Janganlah kamu berlebiih-lebihan tentang kafan, karena ia akan menyambarnya pada satu sambaran yang lekas’.” (Sunan Abu Dawud 2:61)
1)      Berikut adalah susunan dari sanad hadis berikut:
1.      Abu Dawud,
2.      Muhammad bin ‘Ubaid,
3.      Amr Abu Malik,
4.      Ismail,
5.      Amir
6.      Ali
7.      Rasulullah Saw.
2)      Sepintas sanad-sanad ini tampak bersambung dari Abu Dawud sampai kepada Nabi Saw. dengan tidak putus. Tetapi sebenarnya antara Amir dan Ali ada seorang rawi yang tidak disebut, karena Amir tidak mendengar riwayat itu dari Ali, walaupun ia semasa dan bertemu dengan Ali, Amir hanya mendengar satu hadis saja dari Ali. (lih.Subul as-Salam 2:80).
Karena Amir satu masa dan bertemu, sedang rawi yang tidak disebut atara keduanya tidak diketahui, maka hadis ini disebut dengan mursal khafi. Hadis yang mursal khafi termasuk kepada hadis lemah dan tidak boleh dipakai.

Mursal Shahabi
مرسل صحابي هر ما يرويه الصحابي عن النّبي صلّى الله عليه و سلّم و لم يسمعه منه إمّا لصغر سنّه أو تأخّر إسلامه أو غيابه عن شهود ذلك.
Mursal Shahabi adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat tetapi tidak didengarnya langsung dari Nabi Saw. karena ia masih sangat kecil, atau karena masuk Islamnya belakangan, atau sedang tidak bersama Nabi Saw. ketika hadis tersebut disabdakan.

Hadis seperti ini sangat banyak, seperti hadis-hadis ibnu Abbas, hadis-hadis Abdullah bin al-Zubair, dan sahabat muda lainnya. Contohnya hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Tirmidzi dari Ibnu Abbas, ia berkata: ketika Abu Thalib sakit maka datanglah kepadanya orang-orang Quraisy dan datang pula padanya Rasulullah Saw. untuk menengoknya. Di dekat kepala Abu Thalib terdapat tempat duduk, di situlah Abu Jahal duduk. Mereka berkata, “Sesungguhnya keponakanmu itu mencela tuhan-tuhan kita.” Abu Thalib berkata, “Mengapa kaummu meragukanmu?” Nabi berkata, “Aku menghendaki mereka pada satu kata yang dengannya mereka dapat menundukkan seluruh orang Arab dan dengannya orang-orang non-Arab akan membayar pajak kepada mereka.” Abu Thalib bertanya, “Apakah itu?”, Nabi Saw. menjawab, “yaitu Laa ilaaha IllaAllah.” Maka mereka berdiri seraya berkata, “Jadikanlah tuhan-tuhan kami menjadi tuhan yang satu...” (Al-Musnad-3:314-315; Al-Turmudzi [dan dinilainya hasan], 5:365-366)
Masalah ini telah dibahas oleh para ulama ushul fiqh. Adapun ulama ahli hadis tidak memasukkannya sebagai hadis mursal, karena hadis tersebut dihukumi sebagai hadis yang sanadnya bersambung, sebab riwayat yang mereka terima berasal dari sahabat dan tidak diketahuinya identitas seorang sahabat tidaklah menjadi aib bagi suatu hadis, kareba seluruh sahabat itu adil.
Al-Barra’ bin Azib berkata, “Tidaklah setiap kali kami mendengar langsung hadis Rasulullah Saw. kami kadang-kadang bepergian dan memiliki kesibukan. Akan tetapi manusia pada waktu itu tidak ada yang berdusta. Lalu orang yang menyaksikan suatu hadis menyampaikannya kepada orang yang tidak menyaksikannya.” (Dikeluarkan oleh al-Khathib dalam al-Kifayah, hal.385-386.)
Ketetapan di atas disanggah mengingat bahwa boleh jadi hadis mursal shahabi itu merupakan riwayat sahabat dari tabiin dari sahabat seperti yang diterangkan pada pembahasan Al-Akabir al-Ruwat ‘an al-Ashaghir[1], seperti hadis al-Sa’ib bin Yazid, seorang sahabat, dari Abdurrahman bin Abd al-Qari, seorang tabiin, dari Umar bin al-Khaththab dari Nabi Saw. beliau bersabda:

من نام عن حزبه أو عن شيئ منه فقرأه قيما بين صلاة الفجر و صلاة الظهر كُتب له كأنّما قرأه من الليل.
“Barang siapa tidur dan tidak membaca hizb-nya atau sebagiannya lalu ia membacanya di antara shalat Shubuh dan shalat Dzuhur, maka dituliskan baginya seakan-akan ia membacanya di waktu malam hari.” (H.R. Muslim, 1:208)

Dan siklus periwayatan yang demikian terjadi pada sejumlah hadis, sedangkan tidak diketahuinya identitas seorang tabiin membahayakan keshahihan hadis, dan atas dasar hal itu terdapat sebagian ulama hadis yang menjadikan hadis mursal shahabi sama saja dengan mursal tabii.
Hanya saja pandangan muhadditsin yang sangat tajam dapat mendeteksi hadis-hadis yang melalui siklus-siklus periwayatan di atas. Dengan penelitian yang seksama bahwa periwayatan sahabat dari tabiin itu sangat jarang. Di samping itu sahabat yang meriwayatkan hadis dari selain sahabat, senantiasa menjelaskannya. Hal ini umumnya berlaku pada hadis-hadis yang tidak marfuk dan hanya berkenaan dengan kisah umat-umat dahulu, dan ini pun sangat jarang dan sedikit, sedangkan sesuatu yang sangat jarang itu tidak dapat dijadikan sebagai alasan hukum. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa hukum hadis mursal shahabi itu sahih.
Wallahu A’lam


Daftar Pustaka
‘Itr, Nuruddin, Dr., Ulumul Hadits, PT.Remaja Rosda Karya. Bandung, 2012.
Hassan, A. Qadir, Ilmu Musthalah Hadits, Penerbit Diponegoro, Bandung. (t.th.)
Abdurrahman, Jalaluddin bin Abi Bakar Ash-Shuyuthi, Tadzrib ar-Rawii fii Syarh Taqriib an-Nawawi, Maktabah Dar al-Turats. Kairo. (t.th.)
Ibnu Katsir, Al-Ba’its al-hatsits Syarh Ikhtishar Ulum al-hadits, Dar al-Fikr. (t.t.) (t.th.)
Al-Khudriy, Tahqiq al-Raghbah fii Taudiih al-Nukhbah, Maktabah Dar al-Manhaj, Riyadh. (t.th.)
Al-Khotib, Dr.Muhammad ‘Ajjaj, Ushul al-Hadits, Dar al-Fikr. (t.t.) (t.th.)


[1] Periwayatan jenis ini telah dihimpun oleh al-Hafizh al-‘Iraqi sebanyak sekitar 20 buah hadis dalam syarah Alfiyah-nya.

3 comments: