المرسل
Al-Irsal menurut bahasa berarti melepaskan atau yang dilangsungkan, sedangkan dalam
istilah muhadditsin, mereka berselisih pendapat tentang definisi hadis mursal
disebabkan perbedaan tempat terjadinya irsal itu.
Namun definisi yang
masyhur adalah:
المرسل هو ما رفعه التابعي بأن يقول: قال رسول
الله صلّى الله عليه و سلّم....سواءٌ كان التابعي كبيرًا أو صغيرًا
Hadits Mursal adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi
oleh seorang tabiin dengan mengatakan, “Rasulullah Saw. berkata...” baik ia
tabiin besar maupun tabiin kecil.
Jelasnya dalam sanad itu, tabi’in tidak pernah menyebut
nama orang yang mengkhabarkan hadits itu kepadanya, tetapi langsung menyebut
nama Nabi Saw saja.
Contoh hadits mursal:
عن مالك عن عبد الله بن أبي بكر بن حزم أنّ في
الكتاب الّذي كتبه رسول الله ص. لعمرو بن حزم: أن لا يمسَّ القرأن إلَّا طاهرٌ
Artinya: Dari Malik, dari ‘Abdillah bin Abi Bakar bin Hazm, bahwa dalam
surat yang Rasulullah Saw. tulis kepada ‘Amr bin Hazm (tersebut): “Bahwa tidak
menyentuh al-Quran melainkan orang yang bersih.” (Al-Muwaththa 1: 157)
Gambaran susunan sanad rawi-rawi Hadits itu demikian:
1. Malik,s
2. ‘Abdullah bin Abi Bakar,
3. Rasulullah Saw.
Abdullah bin Abi Bakar ini seorang tabii, sedang seorang
tabii tidak bertemu dan tidak semasa dengan Nabi Saw., mestinya Abdullah
menerima riwayat itu dari seorang lain atau sahabat. Karena ia tidak
menyebutkan nama sahabat atau orang yang mengkhabarkan kepadanya, melainkan ia
langsung menyebut nama Rasulullah Saw., itulah yang dinamakan mursal.
Hukum Hadits Mursal
Para ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan hadis
mursal dengan perbedaan yang sangat menonjol, yakni terbagi kepada tiga pendapat.
Pendapat Pertama, yaitu pendapat jumhur dan kebanyakan
fuqaha dan ahli ushul menyatakan bahwa hadis mursal itu dhaif dan tidak
dapat dipakai hujjah. Alasannya adalah karena rawi yang tidak disebutkan itu
tidak dapat diketahui identitas dan sifatnya dan boleh jadi ia bukanlah seorang
sahabat. Bilakah demikian maka tidak dapat diketahui pula apakah rawi-rawinya
meriwayatkan dari orang yang tsiqat atau pula tidak tsiqat. Oleh
karena itu, apabila salah seorang rawi meriwayatkan hadits dengan meng-irsal-kannya,
maka boleh jadi ia menerima hadits tersebut dari orang yang tidak tsiqat. Ataupun
rawi yang meng-irsal-kan itu tidak pernah meriwayatkan kecuali dari yang
tsiqat, tetap saja tidak cukup karena diaanggap menilai ke-tsiqat-an
orang yang tidak jelas identitasnya.
Pendapat kedua, yakni pendapat Imam al-Syafi’i,
sebagaimana tertulis dalam al-Risalah bahwa hadis mursal kibar al-tabiin
dapat diterima dengan beberapa syarat, apakah itu pada matan hadis ataupun pada
rawi yang meng-irsal-kannya.
Hadits yang mursal itu harus didukung oleh salah satu dari empat faktor.
a.
Diriwayatkan secara musnad melalui jalan lain.
b.
Diriwayatkan secara mursal (pula) oleh rawi
lain yang tidak menerima hadis tersebut dari guru-guru pada sanad yang pertama,
karena hal ini menunjukkan berbilangnya jalur hadis itu.
c.
Sesuai dengan pendapat sebagian sahabat.
d.
Sesuai dengan pendapat kebanyakan ahli ilmu.
Adapun syarat pada rawinya adalah apabila ia menyebutkan
nama gurunya, maka gurunya itu bukanlah orang yang majhul dan bukan
orang yang dibenci riwayatnya. Bilakah faktor-faktor ini terdapat dalam suatu
hadis yang dinyatakan mursal, maka hal ini akan mengindikasikan keshahihan
sumber hadis tersebut berdasar pada penguat-penguatnya tadi, inilah alasan Imam
Syafi’i menyatakan hadis mursal bisa saja diterima kehujjahannya.
Pendapat ketiga, adalah pendapat Abu Hanifah, Malik,
beserta murid-murid dari Malik yang menyatakan riwayat mursal dari orang
yang tsiqat dapat dipakai hujjah dan termasuk sahih. Alasannya adalah
sebagai berikut:
a.
Rawi yang tsiqat tidak akan mau
meriwayatkan hadis dari Rasulullah Saw. apabila orang yang mendengar dari
beliau bukanlah orang tsiqat, terlebih lagi kemungkinan besar bahwa para
tabiin umumnya menerima hadis dari para sahabat, dan mereka adalah orang yang
jujur dan adil.
b.
Umat Islam pada periode itu umumnya jujur dan
adil sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw. oleh karena itu, bilakah kita
tidak menemukan tanda-tanda jarh-nya seorang perawi maka yang lebih
mungkin adalah dia adil dan dapat diterima hadisnya.
Perdebatan ini terbahas secara panjang lebar dalam kitab
Jami’ al-Tahshil yang disusun oleh al-Hafizh al-‘Ala’i.
Dr.Nuruddin ‘Itr dalam kitab Manhaj an-Naqd
berasumsi bahwa hadis mursal itu berada di antara kemungkinan shahih dan dhaif,
bilakah ia didukung faktor-faktor yang memperkuatnya maka seyogianya ia
diberlakukan sebagai hadis shahih. Demikianlah puncak upaya para Imam fuqaha
dalam masalah ini menurutnya.
Al-Mursal al-Jali
Mursal di sini artinya terputus dan “Jali” berarti “yang
terang” atau “yang nyata.” Dalam ilmu hadis mursal jali adalah “Satu Hadis
yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari seorang syaikh, tetapi syaikh ini
tidak semasa dengannya.” (Al-Kifayah: 384)
Contoh hadisnya adalah sebagai berikut:
حدَّثنا مسدَّدٌ قال: ثنا هشيمٌ عن داؤد بن عمر
و عن عبد الله بن أبي زكريّا عن أبي درداء قال: قال رسول الله ص: إنكم تدعون يوم
القيامة بأسمائكم و أسمآء آبائكم فاأحسنوا أسمائكم.
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami, Musaddad, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami, Husyaim, dari Dawud bin ‘Amr, dari Abdullah bin Abi
Zakariya, dari Abi ad-Darda, ia berkata: Rasulullah Saw. telah bersabda:
Sesungguhnya kamu akan dipanggil pada hari Qiamat dengan nama-nama kamu dan
nama-nama ayahmu. Oleh karena itu perbaguslah nama-nama kamu.” (Sunan Abu Dawud 2:307)
1)
Tertib susunan sanadnya adalah sebagai
berikut:
1. Abu Dawud,
2. Musaddad,
3. Husyaim.
4. Dawud bin ‘Amr,
5. Abdullah bin Abi Zakariya,
6. Abu ad-Darda
7. Rasulullah Saw.
2)
Sanad ini dikatakan putus, karena Abdullah dan
Abu ad-Darda tidak semasa. Abu ad-Darda meninggal pada tahun 32 Hijriyyah,
yaitu pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Sedangkan Abdullah bin Abi
Zakariya wafat pada tahun 117 Hijriyyah.
3)
Tidak ada perselisihan mengenai hukum hadis
yang mursal jali, yaitu dhaif dan tidak boleh dipakai.
Mursal Khafi
Mursal di sini juga bermakna terputus, sedangkan khafi
di sini artinya putus dan tersembunyi, putus dan tidak terang. Dalam Ilmu Isnad
diterangkan bahwa Mursal khafi ada tiga bentuk, yaitu:
a.
Suatu hadis, yang diriwayatkan oleh seorang
rawi dari seorang syaikh yang semasa dengannya dan bertemu. Tetapi tidak
menerima hadis itu dari padanya.
b.
Yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari
seorang syaikh yang semasa dengannya, tetapi ia belum pernah bertemu dengannya.
c.
Yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari
seorang syaikh yang semasa dan bertemu dengannya, tetapi ia tidak pernah
menerima satupun hadis daripadanya.
Contoh hadisnya adalah sebagai berikut:
حدّثنا محمّد بن عبيد المحاربيُّ ثنا عمرو أبو
مالك الجنبيُّ عن إسماعيل بن أبي خالد عن عامر عن عليّ بن أبي طالب قال: لا تغال
قي كفنٍ فإنّي سمعتُ رسول الله يقول: لا تغالوا في الكفن فإنّه يسلبه سلبًا
سريعًا.
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid al-Muharibi,
telah menceritakan kepada kami, ‘Amr Abu Malik al-Janabi, dari Ismail bin Abi
Khalid, dari ‘Amir, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata: jangan engkau
berlebih-lebihan tentang kafan, karena sesungguhnya akau pernah mendengar
Rasulullah Saw. bersabda: ‘Janganlah kamu berlebiih-lebihan tentang kafan,
karena ia akan menyambarnya pada satu sambaran yang lekas’.” (Sunan Abu Dawud 2:61)
1)
Berikut adalah susunan dari sanad hadis
berikut:
1. Abu Dawud,
2. Muhammad bin ‘Ubaid,
3. Amr Abu Malik,
4. Ismail,
5. Amir
6. Ali
7. Rasulullah Saw.
2)
Sepintas sanad-sanad ini tampak bersambung
dari Abu Dawud sampai kepada Nabi Saw. dengan tidak putus. Tetapi sebenarnya
antara Amir dan Ali ada seorang rawi yang tidak disebut, karena Amir tidak
mendengar riwayat itu dari Ali, walaupun ia semasa dan bertemu dengan Ali, Amir
hanya mendengar satu hadis saja dari Ali. (lih.Subul as-Salam 2:80).
Karena Amir satu masa dan bertemu, sedang rawi
yang tidak disebut atara keduanya tidak diketahui, maka hadis ini disebut
dengan mursal khafi. Hadis yang mursal khafi termasuk kepada hadis lemah dan
tidak boleh dipakai.
Mursal Shahabi
مرسل صحابي هر ما يرويه الصحابي عن النّبي صلّى
الله عليه و سلّم و لم يسمعه منه إمّا لصغر سنّه أو تأخّر إسلامه أو غيابه عن شهود
ذلك.
Mursal Shahabi adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat tetapi
tidak didengarnya langsung dari Nabi Saw. karena ia masih sangat kecil, atau
karena masuk Islamnya belakangan, atau sedang tidak bersama Nabi Saw. ketika
hadis tersebut disabdakan.
Hadis seperti ini sangat banyak, seperti hadis-hadis ibnu
Abbas, hadis-hadis Abdullah bin al-Zubair, dan sahabat muda lainnya. Contohnya
hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Tirmidzi dari Ibnu Abbas, ia berkata:
ketika Abu Thalib sakit maka datanglah kepadanya orang-orang Quraisy dan datang
pula padanya Rasulullah Saw. untuk menengoknya. Di dekat kepala Abu Thalib
terdapat tempat duduk, di situlah Abu Jahal duduk. Mereka berkata,
“Sesungguhnya keponakanmu itu mencela tuhan-tuhan kita.” Abu Thalib berkata,
“Mengapa kaummu meragukanmu?” Nabi berkata, “Aku menghendaki mereka pada satu
kata yang dengannya mereka dapat menundukkan seluruh orang Arab dan dengannya
orang-orang non-Arab akan membayar pajak kepada mereka.” Abu Thalib bertanya,
“Apakah itu?”, Nabi Saw. menjawab, “yaitu Laa ilaaha IllaAllah.” Maka
mereka berdiri seraya berkata, “Jadikanlah tuhan-tuhan kami menjadi tuhan yang
satu...” (Al-Musnad-3:314-315; Al-Turmudzi [dan dinilainya hasan], 5:365-366)
Masalah ini telah dibahas oleh para ulama ushul fiqh.
Adapun ulama ahli hadis tidak memasukkannya sebagai hadis mursal, karena hadis
tersebut dihukumi sebagai hadis yang sanadnya bersambung, sebab riwayat yang
mereka terima berasal dari sahabat dan tidak diketahuinya identitas seorang
sahabat tidaklah menjadi aib bagi suatu hadis, kareba seluruh sahabat itu adil.
Al-Barra’ bin Azib berkata, “Tidaklah setiap kali kami
mendengar langsung hadis Rasulullah Saw. kami kadang-kadang bepergian dan
memiliki kesibukan. Akan tetapi manusia pada waktu itu tidak ada yang berdusta.
Lalu orang yang menyaksikan suatu hadis menyampaikannya kepada orang yang tidak
menyaksikannya.” (Dikeluarkan oleh al-Khathib dalam al-Kifayah, hal.385-386.)
Ketetapan di atas disanggah mengingat bahwa boleh jadi
hadis mursal shahabi itu merupakan riwayat sahabat dari tabiin dari sahabat
seperti yang diterangkan pada pembahasan Al-Akabir al-Ruwat ‘an al-Ashaghir[1],
seperti hadis al-Sa’ib bin Yazid, seorang sahabat, dari Abdurrahman bin Abd
al-Qari, seorang tabiin, dari Umar bin al-Khaththab dari Nabi Saw. beliau
bersabda:
من نام عن حزبه أو عن شيئ منه فقرأه قيما بين
صلاة الفجر و صلاة الظهر كُتب له كأنّما قرأه من الليل.
“Barang
siapa tidur dan tidak membaca hizb-nya atau sebagiannya lalu ia
membacanya di antara shalat Shubuh dan shalat Dzuhur, maka dituliskan baginya
seakan-akan ia membacanya di waktu malam hari.” (H.R. Muslim, 1:208)
Dan siklus periwayatan yang demikian terjadi pada
sejumlah hadis, sedangkan tidak diketahuinya identitas seorang tabiin
membahayakan keshahihan hadis, dan atas dasar hal itu terdapat sebagian ulama
hadis yang menjadikan hadis mursal shahabi sama saja dengan mursal tabii.
Hanya saja pandangan muhadditsin yang sangat tajam dapat
mendeteksi hadis-hadis yang melalui siklus-siklus periwayatan di atas. Dengan
penelitian yang seksama bahwa periwayatan sahabat dari tabiin itu sangat
jarang. Di samping itu sahabat yang meriwayatkan hadis dari selain sahabat,
senantiasa menjelaskannya. Hal ini umumnya berlaku pada hadis-hadis yang tidak
marfuk dan hanya berkenaan dengan kisah umat-umat dahulu, dan ini pun sangat
jarang dan sedikit, sedangkan sesuatu yang sangat jarang itu tidak dapat
dijadikan sebagai alasan hukum. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa hukum
hadis mursal shahabi itu sahih.
Wallahu A’lam
Daftar Pustaka
‘Itr, Nuruddin, Dr., Ulumul Hadits, PT.Remaja Rosda Karya. Bandung,
2012.
Hassan, A. Qadir, Ilmu Musthalah Hadits, Penerbit Diponegoro,
Bandung. (t.th.)
Abdurrahman, Jalaluddin bin Abi Bakar Ash-Shuyuthi, Tadzrib ar-Rawii fii
Syarh Taqriib an-Nawawi, Maktabah Dar al-Turats. Kairo. (t.th.)
Ibnu Katsir, Al-Ba’its al-hatsits Syarh Ikhtishar Ulum al-hadits, Dar
al-Fikr. (t.t.) (t.th.)
Al-Khudriy, Tahqiq al-Raghbah fii Taudiih al-Nukhbah, Maktabah Dar
al-Manhaj, Riyadh. (t.th.)
Al-Khotib, Dr.Muhammad ‘Ajjaj, Ushul al-Hadits, Dar al-Fikr. (t.t.)
(t.th.)
[1] Periwayatan jenis ini telah dihimpun oleh al-Hafizh al-‘Iraqi sebanyak
sekitar 20 buah hadis dalam syarah Alfiyah-nya.
terimakasih postingannya
ReplyDeletebagus
Isi kontennya bagus ya
ReplyDeletewichem
kontennya bagus
ReplyDeleteberdikary