Pages

Monday, January 28, 2013

Kitab-kitab Zawaid



Kitab zawaid adalah kitab atau karya tulis yang dimaksudkan untuk mengumpulkan tambahan dari kitab-kitab tertentu seperti kitab musnad dan mu’jam ke dalam kitab-kitab rujukkan hadits seperti al-Kutub as-Sittah, Musnad Ahmad, Shahih Ibnu Hibban, dan lain-lainnya.
Urgensi kitab Zawaid dan manfaatnya
1.                        Sesungguhnya kitab-kitab ini menjadi ensiklopedia hadits, jika sebagian digabungkan dengan yang lainnya.
2.                        Sesungguhnya kitab zawaid ini bisa digunakan untuk mengetahui mutaba’ah dan syawahid dan mengetahui jalan periwayatan sebagian hadis, yang mana jika bukan karena kitab zawaid, niscaya kita tidak akan mengenal hadis-hadis tersebut, baik karena hilangnya kitab asal ataupun karena kesulitan dalam memperolehnya.
Pencetus Ide Kitab Zawaid
Al-Hafizh Zainuddin Abdurrahman bin al-Husain al-Iraqi (W. 806 H) dianggap sebagai penemu pertamakali ide kitab zawaid, meskipun sejauh pengetahuan yang ada, dia belum menulis satu pun kitab tentang hal itu, akan tetapi dia mengarahkan hal itu kepada tiga orang muridnya yang mana dari mereka itulah madrasah hadis terbentuk di akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9 Hijriyyah. Mereka adalah:
1.                  Al-Hafizh Abu Bakar Nuruddin al-Haitsami (807 H)
2.                  Al-Hafizh Syihabuddin Abu al-Abbas al-Bushiri (840 H)
3.                  Al-Hafizh Abu al-Fadhl Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani (852 H)

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kajian hadis telah mengalami perkembangan sepanjang sejarah dan melewati beberapa fase yang berbeda-beda yang di mulai sejak Rasulullah Saw. masih hidup sampai zaman kita sekarang. Muhammad Abu Zahwu telah membagi fase perkembangan Hadis tersebut secara global menjadi tujuh periode:
1.      Perkembangan Hadis pada masa Rasulullah SAW,
2.      Perkembangan Hadis pada masa khilafah al-Rasyidah,
3.      Perkembangan Hadis pasca khilafah al-Rasyidah sampai penghujung abad pertama hijriyah,
4.      Perkembangan Hadis pada abad kedua hijriyah,
5.      Perkembangan Hadis pada abad ketiga hijriyah,
6.      Perkembangan Hadis sejak abad keempat sampai tahun 656 Hijriyah,
7.      Perkembangan Hadis sejak tahun 656 Hijriyah sampai masa sekarang.
Dari klarifikasi fase di atas, kitab Zawaid termasuk ke dalam fase ketujuh dan ia termasuk salah satu kitab Hadis yang paling penting setelah kitab-kitab hadis lainnya yang populer di kalangan para pelajar. Hal ini disebabkan karena kitab ini mencakup hadis-hadis yang tidak diriwayatkan oleh para pengarang kitab hadis populer yang lain. Salah satu contoh kitab zawaid adalah kitab yang akan kita kaji berikut ini.
Biografi al-Haitsami
Nama lengkap al-Haitsami adalah Ali bin Abu Bakar bin Sulaiman bin Abu Bakar bin ‘Amar bin Shalih. Laqabnya (julukan) adalah Abu al-Hasan, kuniyahnya adalah Nuruddin dan ia lebih dikenal dengan panggilan al-Haistami. Ia lahir di Mesir pada bulan Rajab tahun 735 H dan meninggal di Mesir pula pada bulan Ramadhan tahun 807 H. Orang tuanya adalah pedagang di gurun pasir dan ia menyerahkan putranya al-Haitsami untuk dididik kepada orang yang mengajarinya membaca al-Quran yaitu Zainudin al-‘Iraqi. Bersama gururnya al-‘Iraqi, Abu Bakar al-Haitsami berangkat ke Mekah, Madinah, Damaskus dan daerah lainnya untuk menuntut ilmu khususnya ilmu Hadis. Pada akhirnya Abu Bakar al-Haitsami menjadi orang alim, hafidz dan zuhud.
Karena itu, Al-‘Iraqi sangat menyayangi dan percaya kepada keilmuan al-Haitsami, sehingga ia terkadang menyuruh Abu Bakar al-Haitsami untuk menggantikannya dalam mengurus beberapa urusannya, yang pada akhirnya ia menikahkan al-Haitsami dengan putrinya yang bernama Khadijah. Termasuk karya-karya al-Haitsami adalah:
- Majma al-Zawaid Wa Mamba’ al-Fawaid Fi al-Zawaid ‘Ala al-Kutub al-Sittah
- Mawarid al-Dham’an Fi Zawaid Shahih Ibn Hiban
- Zawaid Sunan al-Daruquthni
- Zawaid Ibn Majah ‘Ala al-Kutub al-Khamsah
- Ghayah al-Maqsad Fi Zawaid Ahmad
Dari beberapa karyanya di atas, jelas bahwa al-Haitsami memiliki perhatian yang besar dan khusus terhadap Zawa’id. 

Guru-gurunya selain al-’Iraqi
Selain al-’Iraqiy, dia juga berguru kepada Abu al-Fath al-Maydumiy, Ibn al-Muluk, Ibn al-Qaṭrawaniy, Ibn al-Khabbaz, Ibn al-Hamawiy, Ibn Qayyim al-Ḍiyaiyyah, Ibn Abdul Hadi, Muhammad Ibn Abdullah al-Nu’maniy, Ahmad Ibn al-Raṣdiy, al-’Arḍiy, Mudhfir al-din Muhammad Bin Muhammad Bin Yahya al-’Attar dan Ahmad Ibn Abdurrahman al-muradiy.

Sebab Penulisan karya
Al-Haitsami berkata ” Setelah aku mengumpulkan zawāid Musnad Imam Ahmad, Abi ya’la al-Mauṣiliy, dan Abu Bakr al-Bazzar, kemudiaan tiga Mu’jam al-Ṭhabrani, Guruku berkata kepadaku ’kumpulkanlah karya-karya ini tanpa menyebutkan sanad-sanadnya agar terkumpul hadis-hadis setiap bab pada satu bab saja.’ Ketika itu akupun mengerjakan arahannya dan memohon kepada Allah pertolongan dan mendapat kemudahan dari-Nya.” 

Metodologi penulisan
Ia berkata ”aku menamai karya ini seperti yang di berikan guruku (majma’ al-zawaid wa manba’ al-fawaid). Adapun hadis-hadis yang aku bincangkan kesahihan dan keḍaifannya, apabila hadis itu dari seorang sahabat kemudian kusebutkan matannya, maka aku cukup membincangkan satu hadis yang pertama sahaja. Kecuali jika hadis yang kedua lebih sahih. Apabila hadis tersebut di riwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal maka akan aku teliti rijalnya, keculai ada sanad yang lebih sahih. Jika suatu hadis mempunyai satu sanad yang sahih, maka aku tidak lagi membincangkan hadis-hadis yang lain walaupun sanadnya lemah.

Adapun guru-guru kepada al-Ṭhabrani, yang di dapati dalam kitab Lisan al-Mizan, aku jelaskan keḍaifannya.
Kalau tidak ada dalam kitab tersebut maka aku masukkan ke kategori tsiqah. Manakala sahabat tidak mesti disyaratkan untuk masuk dalam karya rijal yang sahih, begitu juga guru-guru al-Ṭhabrani yang tidak didapati dalam kitab al-Mizan.

Adapun mengenai metode penulisan kitab, al-Haitsami juga menyebutkannya dalam muqadimah kitabnya. Ia berkata, “Saya menyusun kitab ini sesuai dengan urutan bab yang terdapat dalam kitab fiqih agar memudahkan bagi saya pribadi dan bagi para pembaca. Kemudian saya menyebutkan Hadis diriwayatkan oleh Abu Ya’la namun tidak diriwayatkan oleh ashhab kutub al-khamsah (al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al Nasa’i dan at Tirmidzi) secara sempurna. Adapun mengenai Hadis yang sama-sama diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan ashhab kutub al-khamsah¸ namun terdapat tambahan redaksi, maka saya juga menyebutkannya, kemudian saya memberikan peringatan terhadap tambahan tersebut dengan redaksi “Hadis ini diriwayatkan oleh fulan namun tidak terdapat ucapan yang seperti ini”. Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan redaksi
 يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفْتِنَا فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَقَالَ ائْتُوهُ فَصَلُّوا فِيهِ وَكَانَتْ الْبِلَادُ إِذْ ذَاكَ حَرْبًا فَإِنْ لَمْ تَأْتُوهُ وَتُصَلُّوا فِيهِ فَابْعَثُوا بِزَيْتٍ يُسْرَجُ فِي قَنَادِيلِهِ
Wahai rasulullah, berikanlah kami fatwa tentang bait al-Maqdis, maka Rasulullah saw bersabda: “Datangilah ia, shalatlah di dalamnya, jika di negeri itu terdapat peperangan apabila engkau tidak mengunjunginya dan dan belum shalat disana, maka ambillah zaitun yang dijadikan minyak dari tumbuhannya”.
Namun, dalam Musnad Abu Ya’la dari riwayat Maimunah isteri Nabi terdapat tambahan redaksi sebagai berikut:
 يا رسول الله أفتنا في بيت المقدس قال هو أرض المحشر وأرض المنشر ائتوه فصلوا فيه فإن صلاة فيه كالف صلاة، قلنا يا رسول الله فمن لم يستطع أن يتحمل إليه قال من لم يستطع أن يأتيه فليهد إليه زيتا يسرج فيه فإن من أهدى إليه زيتا كان كمن قد أتاه
Wahai Rasulullah, berikanlah kami fatwa tentang bait al Maqdis, maka Rasulullah saw bersabda: “Ia adalah tanah tempat berkumpul, tanah tempat menghidupkan makhluk, datangilah ia, shalatlah di dalamnya, kami berkata: wahai Rasulullah, jika tidak mampu melaksanakannya?, Rasulullah bersabda: siapa yang tidak mampu mendatanginya, hendaklah hadiahkan padanya zaitun yang dijadikan minyak, Sesungguhnya siapa yang telah dihadiahkan zaitun maka ia bagaikan telah mengunjunginya.” Selain itu, metodologi yang lainnya adalah sebagai berikut:
 a. Menyebutkan Hadis dengan sanad yang dimiliki Abu Ya’la sampai kepada akhir sanad tersebut.
b. Tidak memberikan komentar apapun terhadap suatu Hadis, terkait fiqih, bahasa dan maksud hadis tersebut.
c. memberikan keterangan terkait matan jika terdapat perbedaan antara riwayat Abu Ya’la dengan mukharrij lain, atau jika terjadi peringkasan matan.
d. Memulai penulisan Hadis dengan diawali oleh kitab (bab) al-Iman dan diakhiri dengan kitab (bab) al-Zuhd.
e. Jika ada Hadist yang sanad atau matannya sama, al Haitsami tidak menyebut ulang, beliau hanya mengisyaratkan dengan ungkapan seperti: فذكر نحوه.
Wallahu A’lam

1 comment: