Pages

Monday, November 4, 2013

Pluralisme Agama
Definisi Pluralisme Agama
Secara etimologis, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu “Pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa arab diterjemahkan “al-Ta’addudiyyah al-diniyyah” dan dalam bahasa inggris “religious pluralism”. Oleh karena istilah pluralisme ini berasal dari bahasa inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti “jama” atau lebih dari satu. Dalam kamus inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerajaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengkui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjujung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut[1]. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya dapat disederhanakan dalam satu makna yaitu koeksistensinya berbagai kelompok dalam satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.[2]
Sebenarnya kata Pluralisme itu sendiri penulis pandang sabagai hal yang positif, yaitu sikap yang menerima tiap-tiap perbedaan dengan sikap saling menghargai tanpa memandang yang satu lebih unggul dari yang lainnya, tapi hal ini akan pandangan semacam ini akan pas jika diterapkan pada hal keduniaan seperti konsep manajemen ekonomi ataupun pluralisme dalam hal kebudayaan. Penulis berpendapat kesalahan fatalnya adalah ketika pandangan pluralisme ini disandarkan kepada agama sebagai bentuk gerakan perdamaian lintas agama, yang ternyata pluralisme ini seakan-akan memandang agama-lah yang telah menjadi sekat-sekat bagi manusia untuk hidup bersama.
Sementara itu definisi agama dalam wacana pemikiran barat telah mengundang perdebatan dan polemik yang tak berkesudahan, baik di bidang ilmu filsafat agama, teologi, sosiologi, antropologi, maupun dalam ilmu perbandingan agama itu sendiri. Sehingga sangat sulit, bahkan hampir bisa dikatakan mustahil, untuk mendapatkan definisi agama yang bisa diterima atau bisa disepakati semua kalangan. Dan saking sulitnya, sampai-sampai sebagian pemikir berpendapat bahwa agama adalah kata-kata yang tidak mungkin didefinisikan.[3]
Sejarah dan Perkembangan Pluralisme
Pemikiran Pluralisme agama muncul pada masa yang disebut Europe Enlightnment, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang serig disebut-sebut titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama. Di tengah hiruk pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul secara konsekuensi lgos dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, muncullah suatu faham yang dikenal dengan “liberalisme” yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.[4]
Meskipun hembusan angin pluralisme telah mulai mewarnai Eropa pada masa itu, namun masih belum kuat mengukur dalam kultur masyarakatnya. Beberapa sekte Kristen ternyata masih mengalami perlakuan diskriminatif dari gereja, sebagaimana yang dialami oleh sekte Mormon yang tetap tidak diakui oleh gereja karena dianggap gerakan heterodox, sampai akhir abad sembilan belas ketika muncul protes keras dari presiden Amerika Serikat Grover Cleveland (1837-1908). Begitu juga doktrin eksklusivisme gereja juga tetap dipegang teguh oleh Gereja Katolik, hingga dilangsungkannya Konsili Vatikan II pada permulaan tahun 60-an abad ke-20 yang mendeklarasikan doktrin inklusivisme bahkan bagi agama-agama selain Kristen.[5]
Dari kasus di atas dapat disimpulkan bahwa gagasan pluralisme agama sebenarnya merupakan upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Pada dataran ini, gagasan pluralisme agama bisa dilihat sebagai salah satu elemen gerakan reformasi pemikiran agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh gereja Kristen pada abad ke-19, dalam gerakan “Liberal Protestanism” yang dipelopori oleh Frienrich Schleirmacher.[6]
Gagasan Pluralisme ini berawal dari upaya penyatuan antar umat beragama agar bersikap toleran terhadap perbedaan masing-masing, walaupun pada nyatanya sikap toleran ini mempunyai hakikat yang intoleran terhadap semua agama, pluralisme sendiri menjadi konsep yang tidak jelas dan kabur dari tujuan utamanya.
Dasar-dasar Pluralisme Agama
a.       Humanisme Sekular
Secara umum, konsep Humanisme Sekular bercirikan “antroposentris”, yakni menganggap manusia sebagai hakikat sentral kosmos, atau menempatkannya di titik sentral, pada hakikatnya pemikiran sentralitas manusia sebagai referensi nilai dalam dalam segala hal adalah pemikiran yang cukup tua yang akar-akarnya bisa ditelusuri dalam paruh kedua abad ke-5 SM, yaitu pada pemikiran Protagoras. Dari filosof inilah ditemukan suatu pernyataan bahwa “manusia adalah satu-satunya standar bagi segala sesuatu.”[7]
b.      Teologi Global
Pengaruh “globalisasi” luar biasa dahsyat dan kompleks dalam mengubah kehidupan manusia denan segala aspeknya di luar apa yang dibayangkan sebelumnya. Ia telah menyebabkan luntur, dan bahkan lenyapnya jati diri dan nilai-nilai suatu kultur dan budaya. Namun di saat yang sama dan dalam beberapa kasus ia juga telah memberikan kontribusi dengan menghidupkan kembali nilai dan tradisi warisan tersebut serta “penegasan jati diri keagamaan” seperti yang sekaran g dikenal dengan “fundamentalisme keagamaan” khususnya yang beratribut Islam, yang telah menjadi resistensi yang paling tangguh melawan hegemoni sistem global.
Akan tetapi globalisasi ini juga telah mempengaruhi secara nyata dan signifikan, di samping hal di atas tadi, munculnya gagasan-gagasan dan wacana-wacana teologi baru yang sangat radikal, yang intinya menganjurkan untuk tidak perlunya bersikap resisten dan menentang terhadap globalisasi yang sudah nyata-nyata menjadi kenyataan dan tak mungkin menghindarinya, di mana jagad telah semakin mengkerut dan sekat-sekat atau batas-batas geografis telah meleleh. Sebaliknya manusia harus mengubah atau merombak pemikiran-pemikiran dan keyakinan-keyakinan agama tradisional agar seirama dengan semangat zaman, zeitgeist, dan nilai-nilainya yang diyakini “universal”. Hanya saja dengan tampak kemudian secara menonjol dari pembacaan kritis terhadap gagasan-gagasan teologi global ini ternyata hanyalah sebuah upaya sistematis yang menggunakan topeng teologis bagi sebuah teori baru yang sangat krusial, yang dewasa ini dikenal dengan teori “Pluralisme Agama”.
c.       Sinkretisme
Tren Sinkretisme tampak sebagai fenomena yang begitu mengesankan dalam sejarah pemikiran agama, dulu maupun kini. Tren sinkretisme adalah suatu kecenderungan pemikiran yang berusaha mencampur dan berusaha merekonsiliasi berbagai unsur yang berbeda (bahkan mungkin bertolak belakang) yang diseleksi dari berbagai agama dan  tradisi dalam suatu wadah tertentu atau dalam satu agama yang ada (berwujud suatu aliran baru).
d.      Hikmah Abadi (Shopia Perennis)
Hikmah Abadi adalah pemilahan antara kebenaran Esoterik yang absolutely absolute dan kebenaran aksoterik yang relatively absolute. Di mana dalam pemahaman ini, Islam dan Kristen memang berbeda secara aksoterik (peribadahan), namun pada esoteris-nya tetap menuju satu tuhan.[8]
Kritik terhadap Pluralisme
Di Indonesia, pluralisme kerap dipadankan dengan inklusivisme. Oleh para pengusungnya gagasan ini diartikan sebagai paham keagamaan yang mengakui dan menerima kebenaran agama lain. Sekilas memang tampak tidak masalah. Apalagi jika memang tujuannya adalah untuk menemukan common platform demi terwujudnya kebersamaan dan kerukunan antar umat beragama. Namun pada hakikatnya inklusivisme ini berbahaya. Paham ini mengajarkan bahwa agama anda bukanlah satu-satunya jalan keselamatan. Tidak boleh kita menilai penganut agama-agama lain sebagai penghuni neraka. Asal mereka beriman dan berbuat baik –apapun agamanya—bisa jadi selamat. Islam artinya penyerahan diri pada Tuhan, meskipun secara formal ia berada di luar agama Islam, boleh disebut muslim. Semua pandangan di atas hanyalah merupakan pendangkalan ketimbang pendalaman, pengaburan ketimbang pencerahan. Jika dibiarkan, paham-paham ini akan bekerja menghabisi semua agama.[9]
Bilakah pluralisme dipandang sebagai sikap yang toleran terhadap semua agama maka di sana pula terdapat kekeliruan kaum pluralis yang malah begitu memaksakan pluralisme sebagai ideologi negara dan masyarakat. Mereka sudah terang-terangan mengakui dengan jujur bahwa pluralisme melebihi toleransi. Bersikap toleran saja tidaklah cukup, tetapi juga harus dengan menilai bahwa agama lain juga baik dan benar, sebab kebenaran agama sendiri faktanya memang sulit untuk dibuktikan.
Al-Attas mencatat Islam bukan hanya mengajarkan bahwa setiap manusia harus bersikap berserah diri kepada Allah SWT., melainkan juga mengajarkan bagaimana bentuk penyerahan diri tersebut, yakni melalui taat kepada Rasulullah Saw. di sinilah letak sakralitas syahadat dalam ajaran Islam. Jadi klaim Yahudi dan Kristen bahwa mereka juga berserah diri kepada Allah SWT tertolak sudah, karena tolak ukur berserah diri di sini adalah taat kepada Rasulullah Saw. dengan demikian kita tidak menyebut iblis sebagai muslim pula.[10]
Pada awalnya pluralisme muncul sebagai ideologi netral yang hendak meciptakan kedamaian di muka bumi. Akan tetapi perjalanan sejarah teori-teori mereka tentang pluralisme telah menjauh dari semula dicanangkan, malah mengambil arah yang secara diametral berlawanan dengan tujuan tersebut. Pluralisme telah menjadi agama baru, sebuah ideologi yang eksklusif dan merasa benar sendiri, yang dalam bahasa Dr.Anis “Alih-alih ingin menjadi referee yang baik dan netral di tengah lapangan, pluralisme agama ternyata malah ikut bermain dan bersaing dengan pemain-pemain yang ada”. Kedamaian yang diharapkan dari pluralisme pun, jika memang terwujud tidak lebih dari kedamaian formalitas yang semu yang tak berlangsung lama. Sebab keyakinan yang sifatnya eksklusif walau bagaimanapun tidak bisa dihilangkan, kecuali oleh pluralisme yang membunuh keyakinan itu sendiri. Artinya tanpa disadari pluralisme telah menjadi keyakinan tersendiri di samping keyakinan-keyakina yang ada, dan bersifat hegemonik dan memberangus keyakinan yang sudah ada. Oleh karena itu, gagasan pluralisme agama ini tidak mungkin dijadikan cara penyelesaian problem-problem konflik keagamaan, karena wataknya yang eksklusif dan merasa benar sendiri.
Dengan demikian maka yang sudah benar adalah meyakini bahwa agama Islam satu-satunya agama yang benar, sambil tetap toleran terhadap pemeluk agama lain, berinteraksi sosial dengan baik selama tidak menyentuh wilayah akidah dan ibadah. Sebab sudah terbukti bahwa pluralisme dan inklusivisme hanyalah ideologi bohong dan omong kosong. Ngotot memperjuangkannya berarti ngotot memperjuangkan kebohongan.[11]
Wallahu A’lam

Daftar Pustaka
Dr.Anis Malik Thoha, “Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis” Jakarta: Perspektif Cet.ketiga 2007
Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal; Panduan Islamic Worldview untuk Para Aktivis Da’wah, Bandung: PERSISPERS 2011
Dr.Syamsudin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran,Jakarta: GIP 2008.
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal.  Jakarta: GIP, 2005




[1] “Pluralism” dalam the Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles, revised and edited by C.T. Onions (Oxford: The Clarendon Press, [1993], 3rd ed. 1952; dikutip dari Dr.Anis Malik Thoha, “Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis” Jakarta: Perspektif Cet.ketiga 2007 hal.12
[2] Dr.Anis Malik Thoha, “Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis” Jakarta: Perspektif Cet.ketiga 2007 hal.12
[3] Dwick, E.C.D.D. the Christian Attitude to Other Religions, (Cambride: Cambride University Press, 1953) hal.1; dikutip dari Dr.Anis Malik Thoha, “Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis” hal.12
[4] Ibid. Hal.17.
[5] Ibid. Hal.18.
[6] Muhammad Legenhausen, op.Cit.Hal.116; yang dikutip dari buku Dr.Anis Malik Thoha, “Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis” hal.18
[7] Dr.Anis Malik Thoha, “Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis” hal.51
[8] Ibid. Hal.252.
[9] Dr.Syamsudin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran,Jakarta: GIP 2008. Hal.83
[10] Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal; Panduan Islamic Worldview untuk Para Aktivis Da’wah, Bandung: PERSISPERS 2011, Cetakan ke-2, hal.75
[11] Ibid. hal.75.

3 comments: